[FISIKA] Problem lumpur Lapindo: Pencemaran Lingkungan (2)
Moko Darjatmoko
Thu, 24 Aug 2006
Menjawab pertanyaan Dimas Basuki:
| 1. Darimanakah kalau memang benar ada mercury?
| setahu saya minamata terjadi karena memang mercury digunakan
| di pabrik pengolahan plastik di kawasan teluk minamata
| (http://en.wikipedia.org/wiki/Minamata_disease) tersebut.
| dan memang ada source mercury tersebut dari sebuah industri besar
| dan tidak pernah source itu dari dalam lapisan bumi secara langsung..
|
| 2. Apakah benar bahwa mercury yg ditanyakan tersebut berasal dari
| semburan lumpur (sumur) ?
| karena setahu saya, mercury tidak pernah dalam jumlah besar di
| alam ini , dia selalu bersenyawa dengan logam lain .
| karena dalam kasus minamata, ada sekitar 30 ton mercury yang
| dibuang ke minamata selama 34 tahun 1932 - 1968
| (http://www.hgtech.com/Information/Minamata%20Japan.htm)
Wah, wah, Bas... sampiyan ini "salah kaprah" (mungkin dulu ngaudit kuliah yang
kaprah). Tentu saja merkuri ini selalu bersenyawa dengan elemen lain (tidak
hanya logam, tetapi juga non-logam, termasuk senyawa organik). Mungkin ini
gambaran (mitos) di kebanyakan kepala orang selama ini, bahwa yang namanya
merkuri itu adalah "bola-bola" cair yang mengelinding seperti ball-bearing
(gotri) kalau ada termometer jatuh dan pecah di lantai. Kejadian "buang 30 ton
merkuri di Minamata" itu juga bukan merkuri murni tetapi dalam bentuk limbah
(padat, cair) atau tailing [Kalau merkuri murni ya nggak dibuang, kok nyimut
... dijual dapat duit banyak].
Mitos kedua adalah bahwa merkuri ini elemen langka. Padahal senyatanya merkuri
ini rankingnya nomor 67 dalam hal "abundance" diantara elemen yang membentuk
kerak bumi. Sedikit lebih jamak dari emas, meskipun tidak sejamak perak atau
uranium. Tetapi tidak seperti emas dan perak, merkuri ini tidak dianggap
"langka" (rare) karena bisa ditemukan dalam deposit yang terkonsentrasi.
Kebnyakan dalam sebagai "cinnabar", mineral yang terdiri dari merkuri-sulfid.
Secara alamiah merkuri ini "lepas" ke permukaan melalui proses erosi alamiah
(hujan, pelapukan, gerusan air) atau ke udara melalui kebakaran hutan, letusan
gunung, mata air panas, dsb. Aktivitas manusia seperti penambangan, pembakaran
fossil fuel (yes, your very own car, too!), pembakaran batubara (power-plant),
incinerasi sampah. dari pembakaran fossil fuel saja, setiap tahun aktivitas
manusia ini telah melepas merkuri ke angkasa sebanyak 11.900 ton per tahun.
Mengangkasa, berkeliling dunia, dan akhirnya kembali ke bumi bersama hujan dan
pengendapan partikel-partikel kecil -- satu fenomena yang dikenal sebagai
"grasshopper effect"].
Tanpa penyelidikan yang seksama tidak memastikan merkuri di lumpur Lapindo itu
datangnya dari mana, tetapi kalau melihat fakta yang aku tulis diatas selalu
ada kemungkinan arus lumpur ini melewati deposit merkuri, atau memang sudah
jutaan tahun merkuri ini ada dalam lumpur tersebut. Harus diingat bahwa merkuri
selalu hadir di sekitar penambangan fossil fuel (minyak maupun batubara).
Darimana pun asalnya merkuri ini --seandainya ini "bukan salahnya lapindo"--
kenyataan bahwa itu ada dalam lumpur dan dalam konsentrasi yang tinggi tidak
bisa dijadikan "excuse" untuk membuangnya ke laut, dan menjadikan bencana yang
lebih besar dan hampir tidak mungkin diatasi lagi.
Dimas Basuki nanya lagi:
| 3. ada beberapa cara yang bisa dilakukan dan harus berkaitan
| dengan prediksi masih ada sekitar 2,6 juta M3 lumpur sumur lapindo
| tersebut , kalau ada hujan dan pasti ada hujan sebentar lagi
| mau dikemanakan lumpur tersebut ? mau ' menenggelamkan' kota Porong ?
Aku tidak bilang ini pilihan gampang -- makanya jangan main-main kasih konsensi
pada orang atau perusahaan yang tidak kompeten (lihat track record Lapindo ini,
siapa saja yang kerja disitu). Seperti aku tulis sebelumnya, upaya containment
pakai tanggul itu menurutku baru taraf "alakadarnya" saja -- masih ada beberapa
alternative yang jauh lebih baik (dan sudah menjadi teknologi yang standard)
seperti contohnya pakai turap baja (interlocking sheet piles). Penduduk yang
tinggal di daerah "rawan" juga harus di relokasi (dan diberi kompensasi).
Begitu juga lalulintas di sekitar situ. Kalau lihat gambar di koran, aku ngeri
membayangkan bagaimana kalau tanggul disebelah jalan tol itu jebol, jelas
ratusan kendaraan akan "tersapu" banjir bah lumpur [terus terang aku juga geli
melihat beberapa container dipasang dalam interval tertentu - katanya untuk
"memperkuat" tanggul. Insinyur cap opo rek?]
Secara singkat aku musti bilang: "It is not good enough!" -- hendaknya ada yang
bisa ditarik dari pelajaran yang mahal ini. Kalau ini kejadian terjadi di
Amerika, pemerintah (EPA, DNR, state and federal agencies) pasti langsung
[baca: SEGERA] menurunkan ahli yang paling kompeten untuk menanggulangi problem
dan meminimalkan dampak negatipnya. Bukan malah dibiarkan atau diserahkan pada
yang bikin ulah [whose incompetence caused the problem in the first place].
Tanggung jawab pemerintah adalah melindungi rakyat dan kepentingan publik,
bukan melindungi company pembuat bencana. Biayanya? Hukumnya jelas: polluters
pay! Pemerintah menalangi biaya penanggulangan, relokasi, dsb dengan apa yang
disebut "Superfund" (untuk masalah pencemaran lingkungan) dan kemudian bill-nya
dikirim ke si polluter -- dan ini dikejar walau sampai bangkrut sekalipun
(justru baik dari sisi publik, si penjahat korporasi tidak bisa lagi mengulangi
perbuatannya. One criminal down, many to go!)
Dimas Basuki punya skenario:
| 4. at any cost harus ada 'waste sludge treatment' sebelum lumpur
| tersebut dibuang , kalau soal reduce mercury , ada beberapa teknik
| bisa kita buat , modelkan ,
|
| 5. seharusnya team independ yang ada , sejak awal tidak hanya berkaitan
| urusan menyetop lumpur ini , tapi harus juga memasukkan unsur
| environmentalist atau bidang bidang yang terkait dengan 'environment'
Ini juga klasik problem "kolektip" kita Bas -- semuanya serba samar-samar. Soal
"treatment" itu sampai sekarang tidak jelas, lumpur itu mau dibagaimanakan
(sebelum 'air"nya dibuang kelaut). Honestly, I'm skeptical and do not buy that
crap. Membuat fasilitas "mercury removal treatment" itu bukan kerjaan sederhana
dan butuh waktu lama (bulan, tahun) padahal katanya waktu mendesak (musim hujan
sudah dekat) -- itupun SEANDAINYA kita ini memang punya ilmu dan terutama
pengalaman dengan teknologinya [as far as I know, it is zilch, big ZERO].
Jangankan mercury removal, memisahkan zat padat dari air di lumpur tersebut aku
tidak yakin bisa dilaksanakan oleh kita (given the existing knowledge,
technology and the sheer volume of that stuff).
Apa yang akan terjadi sudah jelas dari sekarang, lumpur ini akan dipompa ke
laut "as is" (seperti apa adanya) -- that's why putting the pipe is number one
priority, and not building the treatment facility. Ini attitude buruk dari
manusia (pejabat, kelompok masyarakat) yang biasa disebut sebagai "not in my
back yard" (NIMBY). Padahal semuanya itu akan kembali ke kita lagi. What goes
around comes around. Siap-siap sajalah mengucapkan selamat tinggal buat sate
kerang Bangil, bandeng asep Gresik, kepiting Sidoarjo, kupang Kenjeran, trasi,
petis, lurjuk, tripang, ebi, krupuk udang dan banyak lagi industri yang menjadi
tulang punggung ekonomi daerah ini (baik kebutuhan domestik maupun untuk
import). Sidoarjo, Bangil, Pasuruan, Situbondo, dan Probolinggo adalah sentra
produksi udang terbesar di Jawa Timur, sekitar 50.030 ton dengan nilai 324 juta
dollar AS, menurut data tahun 2005 (yang merupakan 30% dari total produksi
nasional).
Seiring dengan perjalanan waktu pencemaran laut ini akan bergerak ke pantai
Madura, Banyuwangi, Bali, dan entah sampai berapa luas lagi (grasshopper effect
lewat pergerakan air dan habitat laut). Di negeri ini memang susah mengharapkan
politisi dan pengambil keputusan untuk membuat satu keputusan atau tindakan
yang memihak rakyat (publik) atau punya visi jangka panjang, tetapi aku
harapkan masih ada yang "waras" terutama di kalangan ilmuwan untuk berani
melihat dan menyatakan pendapatnya secara terbuka [I know, I know .. PNS itu
kebanyakan sibuk nugguin Pensiun, Ngapain Susah-susah]. Tetapi ini soal masa
depan anak cucu, masa depan bangsa ... apa ya semua musti diam saja [asal
slamet, pokoke aman]. Masa kalah sama 'rang Meduro, sampai saat ini
satu-satunya kelompok masyarakat yang berani protes tentang recana pembuangan
lumpur kelaut (Suara Pembaruan 22/8/06).
Mau buang lumpur ke selat Meduro ... sampiyan ini mau ngajak carok, tah?
Moko/
Cak Durasim biyen ngremo, ngritik penjajah Londo/Jepang:
"... maju ditendang mundur ditepang,
nasibe bangsaku koyo jaran kepang"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar